Sabtu, 09 April 2011

Ayah Lupa oleh W. Livingston Larned

Dengarlah, Anakku: saya mengatakan hal ini sewaktu kau terbaring tidur. Di pipimu ada bekas cakaran kecil dan di dahimu yang lebar tersempil rambut keritingmu yang basah.

Saya diam-diam memasuki kamarmu. Beberapa saat tadi, sewaktu saya membaca koran diperpustakaan, tiba-tiba dirasuki rasa penyesalan yang besar. Dengan perasaan bersalah tadi, saya mendekati ranjangmu.

Dalam benakku berkecambuk pikiran: saya bertindak kasar terhadapmu, anakku. Saya membentakmu sewaktu kau memakai pakaian mau sekolah karena kau hanya cuci muka saja. Saya hukum kau karena tidak membersihkan sepatumu. 
Pada waktu sarapan, saya mendapatkan kesalahan juga. Kau berantakkan benda-benda, kau cecerr-cecerkan makananmu. Dan sewaktu kau berangkat main dan saya mau berangkat kerja naik kereta api, kau membalik, melambaikan tangan dan berseru, "hati-hati ya, Ayah ! Dahiku berkerut, lalu menjawab " hayo, sana!"

Siang hari, mulai lagi seperti itu. Sewaktu saya sampai dijalan, saya awasi kau sedang bermain gundu, sampai berlutut. Kaus kakimu berlubang-lubang. Kau kurendahkan di depan teman-temanmu dengan menyuruh  berjalan pulang di depanku. Kaus kaki itu mahal dan andaikan kau membelinya dengan uangmu sendiri, kau pasti lebih berhati-hati ! nak, ingat bahwa itu dari seorang bapak.
Ingatkah kau, waktu aku membaca di perpustakaan setelah itu, kau datang ketakutan dan wajahmu seolah-olah terluka perasaanmu? Sewaktu saya sibuk membaca kau ragu-ragu di pintu. "Mau apa, hei?" sergahku.

Kau tidak berkata apa-apa, tetapi lalu menghambur dan merangkulku kuat-kuat lalu menciumku. Tangan mungilmu merengkuh dengan kelembutan yang diberikan Tuhan dihatimu. Tetapi aku tak memperhatikannya. dan kemudian kau pergi, naik kelantai atas.

Tidak lama sesudahnya, nak, koranku terjatuh dan tiba-tiba saya cemas sekali. Kebiasan apa yang telah merasuk di diriku? Kebiasaan mencari-cari kesalahan,  kebiasaan memaksa. Inilah hadiah ku kepadamu sebagai anak lelaki. Itu bukan karena aku tidak mencintaimu; melainkan saya berharap terlalu banyak terhadap masa mudamu. Saya mengukur dirimu dengan ukuran yang berlaku pada masa saya.

Dengan ada demikian banyak yang bagus dan lembut serta benar dalam perwatakanmu. Hatimu yang kecil ternyata mencakupi luas sekali, seluas cakrawala. Ini terlihat ketika secara spontan bergegas lari dan menciumku sebagai ucapan selamat tidur.

Malam ini hanya kau yang aku pikirkan, nak. Saya telah berada di sisi ranjangmu dalam kegelapan, dan saya berlutut, malu pada diri sendiri. Ini memang penyesalan yang lemah, saya tahu kau tidak akan mengerti ini semua kalau kukatakan padamu. Tetapi besok saya akan sungguh-sungguh menjadi seorang ayah!

Aku akan berpadu denganmu, menderita bila kau menderita, dan tertawa jika kau tertawa. Lidahku akan kutahan, kalau ada kata-kata yang kurang sabar. Saya akan terus mengucapkan " Ia masih anak-anak, anak kecil !"

Saya khawatir jangan-jangan telah memperlakukanmu sebagai seorang dewasa. Namun ketika aku memandangmu sekarang, anakku, tidur meringkuk dan nampak lelah di balik selimutmu, aku menyadari bahwa kau masih kanak-kanak. kemaren kau masih digendong ibumu, kepalamu di bahunya. Saya telah menuntutmu terlalu banyak, terlalu banyak.

Hikmahnya : 
Dari pada mencerca orang, lebih baik kita mencoba memahami mereka. Coba kita bayangkan kenapa mereka begitu. Itu lebih memberi manfaat banyak sekali dari pada kritikan. Sikap ini akan menimbulkan simpati, toleransi dan kebaikan. Mengetahui semuanya adalah memaafkan semuanya.


14 komentar:

  1. ceritamu ini telah mengingatkan ku...atas apa yg pernah aku perbuat pd anakku..ketika buat pertama kalinya aku melihat ia ngebut membawa motor temannya...saat itu aku benar2 kesel, tp semua ku lakukan krn rasa sayang atau emg aku begitu takut akan ke dewasaan yg mulai ia alami...
    kadang aku pikir ia masih anak laki2 kecil yg harus selalu di jaga....

    BalasHapus
  2. sedih bacanya...tapi sangat menarik utuk dilewatkan.....bagus bu.... :)

    salam

    BalasHapus
  3. kok jd berkaca2 gini mbak bacanya...
    terkadang cr org mencintai itu bisa salah.. T_T

    BalasHapus
  4. sepakat bu dengan hikmahnya ^_^ salam kenal, saya juga dari balikpapan...

    BalasHapus
  5. ah memang tidak mudah jadi bunda ya. sabar sis..sabar...kadang kita memang mudah emosi menghadapi anak2..susah menerapkan tegas tapi lembut ya

    BalasHapus
  6. Mbak.... makasih sharingnya. Aku senang sekali membacanya. Bagus sekali.

    #mumpung diklatnya libur, maka nyempetin mampir kesini

    BalasHapus
  7. benar Yanti..kadang2 kita suka kesal dgn kelakuan anak2..tp biasanya sesudah kita marahi atau mgkn kita pukul..kita jd menyesal setengah mati.itu juga yg aku rasakan..ternyata menyanyangi dan bersikap lemah lembut lbh efektif drpd marah2 ya Yan..hehe.bagus Yan..renungannya...

    BalasHapus
  8. Jadi inget bun...saya kalau sedang capek dan keal Dini jadi sasaran pada saat dia ingin sekali bercerita dan meminta ini itu dengan tak sabar menunggu akhirnya emosi datang dan membenatknya, setelah dia mengatakan ibu kok marah..jadi saya nyesel dan gak tega banget.

    BalasHapus
  9. harus selalu sabar dalam setiap masalah,,,

    BalasHapus
  10. nice post mbak Sukma.... hikmahnya mantep bisa jadi pelajaran buat saya kedepan yang mau punya anak.........hehehe

    BalasHapus
  11. Iya bu bener banget lebih baik memahami pribadi orang dari pada langsung mencerca :)

    BalasHapus
  12. hmmm nasehat yang bagus, terkadang saya terlalu cepat marah pada anak didik, hmmm hendaknya kita bisa lebih mengerti mereka... thanks ya mbak....

    BalasHapus
  13. koq commentku gak masuk ya..? ya udah comment lagi ah..

    Saya suka baca postingan ini bisa jadi bahan masukan buatsaya bagaimana saya mendidik anak²ku nanti...

    BalasHapus
  14. Srah baca pelan2 kena banget di hati. Aku jadi ingat ayahku.

    BalasHapus